KERJA Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang telah menggunakan teknologi canggih untuk
memperlancar pekerjaan mereka sebagai pemberantas korupsi di Indonesia,
telah terbukti dengan adanya alat penyadap yang digunakan untuk menyadap
percakapan Artalita Suryani dengan para Jaksa Agung Muda (JAM)
Kejagung.
Konon, alat sadap KPK itu bernama ATIS Gueher Gmbh, buatan Jerman. Selain penyadap telepon seluler ATIS Gueher Gmbh itu, KPK juga membeli peralatan firing buatan AS dan macro system bikinan Polandia. Total biaya pembelian semua alat tersebut Rp 28,07 miliar.
Di samping itu, KPK juga membeli satu unit LID Monitoring Centre (LID MC) seharga Rp 17,31 miliar. Tahun 2005 negara mengalokasikan dana Rp 34 miliar dari APBN untuk membeli peralatan-peralatan sadap tersebut.
ATIS atau Audio Telecommunication International Systems merupakan sebuah generasi baru dari Instant Recall Recorders (IRC) dalam teknologi solid-state, yang dapat dikoneksikan ke dalam audio source berupa telepon atau handphone GSM/AMPS/CDMA dan akan merekam atau menyadap seluruh komunikasi suara dengan kapasitas aktif lebih dari 680 menit dan 1.000 panggilan yang berbeda.
Konon, alat sadap KPK itu bernama ATIS Gueher Gmbh, buatan Jerman. Selain penyadap telepon seluler ATIS Gueher Gmbh itu, KPK juga membeli peralatan firing buatan AS dan macro system bikinan Polandia. Total biaya pembelian semua alat tersebut Rp 28,07 miliar.
Di samping itu, KPK juga membeli satu unit LID Monitoring Centre (LID MC) seharga Rp 17,31 miliar. Tahun 2005 negara mengalokasikan dana Rp 34 miliar dari APBN untuk membeli peralatan-peralatan sadap tersebut.
ATIS atau Audio Telecommunication International Systems merupakan sebuah generasi baru dari Instant Recall Recorders (IRC) dalam teknologi solid-state, yang dapat dikoneksikan ke dalam audio source berupa telepon atau handphone GSM/AMPS/CDMA dan akan merekam atau menyadap seluruh komunikasi suara dengan kapasitas aktif lebih dari 680 menit dan 1.000 panggilan yang berbeda.
Rahasia Negara
Kita tidak tahu pasti apakah memang demikian itu alat sadap yang
dimiliki KPK, karena bagaimana pun, apa yang dipunyai Komisi tersebut
merupakan rahasia negara. Wakil Ketua KPK M Jasin ketika diwawancara
lewat telepon dari Semarang, Selasa (8/7) lalu, mengatakan, alat sadap
itu namanya ATIS, berstandar internasional. Namun ATIS yang macam apa,
ia tidak mau memerinci. ”Itu rahasia,” ucapnya.
Bahkan Mensesneg (waktu itu) Yusril Ihza Mahendra yang mengetahui pengadaan alat sadap itu, menurut Jasin, tidak tahu alat sadap semacam apa yang diadakan KPK. Yang benar-benar tahu hanya KPK sendiri.
”Bahwa dia (Yusril-Red) tahu KPK mau mengadakan alat sadap, itu iya. Tapi apa yang akan kami adakan, dia sendiri tidak tahu,” kata mantan Direktur Litbang KPK itu.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, lanjut Jasin, KPK baru akan memberitahu seputar alat sadap tersebut, namun sebatas akuntabilitas di bidang anggaran. ”Tipe dan klasifikasinya apa, tidak kami tunjukkan,” tuturnya.
Jasin mengemukakan, teknologi alat sadap yang dipunyai KPK itu sebenarnya biasa saja. Menurutnya, keberhasilan KPK dalam melakukan penangkapan-penangkapan penyelenggara negara yang menyimpang dibanding aparat penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan), bukan semata-mata lantaran mempunyai alat sadap yang canggih dan mahal.
”Teknologi sadap itu semua sama saja. Yang membedakan keberhasilan itu adalah konsistensi, kompetensi, kemauan, dan integritas. Integritas itu tadi maksudnya, mampu menjaga kerahasiaan sadapannya sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang,” tutur M Jasin.
Humas KPK Johan Budi SP, ketika hendak diwawancara tentang alat sadap itu langsung menolak mentah-mentah. Katanya, itu rahasia negara. ”Nggak boleh ngomongin alat sadap. Apalagi sampai teknologinya,” tandas ia.
Bahkan Mensesneg (waktu itu) Yusril Ihza Mahendra yang mengetahui pengadaan alat sadap itu, menurut Jasin, tidak tahu alat sadap semacam apa yang diadakan KPK. Yang benar-benar tahu hanya KPK sendiri.
”Bahwa dia (Yusril-Red) tahu KPK mau mengadakan alat sadap, itu iya. Tapi apa yang akan kami adakan, dia sendiri tidak tahu,” kata mantan Direktur Litbang KPK itu.
Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR, lanjut Jasin, KPK baru akan memberitahu seputar alat sadap tersebut, namun sebatas akuntabilitas di bidang anggaran. ”Tipe dan klasifikasinya apa, tidak kami tunjukkan,” tuturnya.
Jasin mengemukakan, teknologi alat sadap yang dipunyai KPK itu sebenarnya biasa saja. Menurutnya, keberhasilan KPK dalam melakukan penangkapan-penangkapan penyelenggara negara yang menyimpang dibanding aparat penegak hukum lain (kepolisian dan kejaksaan), bukan semata-mata lantaran mempunyai alat sadap yang canggih dan mahal.
”Teknologi sadap itu semua sama saja. Yang membedakan keberhasilan itu adalah konsistensi, kompetensi, kemauan, dan integritas. Integritas itu tadi maksudnya, mampu menjaga kerahasiaan sadapannya sebagaimana diatur dalam ketentuan undang-undang,” tutur M Jasin.
Humas KPK Johan Budi SP, ketika hendak diwawancara tentang alat sadap itu langsung menolak mentah-mentah. Katanya, itu rahasia negara. ”Nggak boleh ngomongin alat sadap. Apalagi sampai teknologinya,” tandas ia.
Integritas
Kaitannya perang melawan korupsi, kejaksaan dan kepolisian pun, lanjut M
Jasin, sebenarnya punya wewenang melakukan penyadapan dan penangkapan
juga. Namun selama ini, yang melakukan penangkapan hanya KPK.
”Permasalahannya bukan di alat, melainkan pada orang-orang dan kemampuan
serta integritas di balik alat itu.”
Untuk kepentingan penegakan hukum, KPK membuat prosedur standar baku dalam hal penyadapan. Dan proses penyadapan itu harus diusulkan. Petugas KPK tidak bisa begitu saja main sadap sembarangan.
Penyadapan tersebut, kata dia, hanya diperbolehkan sebatas untuk kepentingan penegakan hukum, dalam hal ini adalah pada tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perbuatan pidana. ”Jadi misalnya mau menyadap, diusulkan ke pimpinan KPK. Pimpinan berhak menyetujui atau menolak.”
Selain kewenangan melakukan penyadapan itu diatur dalam UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sambung Jasin, prosedur penyadapan juga diatur dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 11/Permkominfo/02/2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi dan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.
Untuk kepentingan penegakan hukum, KPK membuat prosedur standar baku dalam hal penyadapan. Dan proses penyadapan itu harus diusulkan. Petugas KPK tidak bisa begitu saja main sadap sembarangan.
Penyadapan tersebut, kata dia, hanya diperbolehkan sebatas untuk kepentingan penegakan hukum, dalam hal ini adalah pada tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perbuatan pidana. ”Jadi misalnya mau menyadap, diusulkan ke pimpinan KPK. Pimpinan berhak menyetujui atau menolak.”
Selain kewenangan melakukan penyadapan itu diatur dalam UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sambung Jasin, prosedur penyadapan juga diatur dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 11/Permkominfo/02/2006 tentang Teknis Penyadapan terhadap Informasi dan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi.
Alat Bukti
Pakar telematika Roy Suryo mengatakan, perkembangan teknologi saat ini
memang memungkinkan sadapan telepon sebagai alat bukti dalam
persidangan. Di Indonesia, hal itu sudah diatur dalam UU No 11/2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang baru diundangkan tiga
bulan lalu (11 April 2008).
”Tapi, semua bukti elekronik yang dipakai sebagai alat bukti itu, harus memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang. Seperti, cara memperolehnya, status hukumnya, siapa yang melakukan (penyadapan), harus jelas asal-usulnya. Tidak bisa KPK langsung bawa rekaman yang tidak terang asal-usulnya,” kata dia.
Kenapa sebelum ini KPK tidak menghadirkan sadapannya ke persidangan sebagai alat bukti, dan baru menghadirkannya dalam kasus suap jaksa kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Artalita Suryani? Menurut Roy, memang tidak harus sadapan itu dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan, namun bisa saja hanya difungsikan sebagai petunjuk.
Ada banyak faktor, kata dia, antara lain bisa jadi memang kebetulan alat bukti yang dapat dimunculkan KPK adalah rekaman hasil sadapan. Tergantung teknologi yang tersedia, bisa berupa rekaman telepon atau handphone, video, short message service (SMS), dan lain-lain. ”Pengingkaran terhadap pemutaran hasil sadapan itu sangat mungkin terjadi dan itu sering terjadi. Ya itu nanti tergantung jaksanya dalam membuktikan tuduhannya.”
”Tapi, semua bukti elekronik yang dipakai sebagai alat bukti itu, harus memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang. Seperti, cara memperolehnya, status hukumnya, siapa yang melakukan (penyadapan), harus jelas asal-usulnya. Tidak bisa KPK langsung bawa rekaman yang tidak terang asal-usulnya,” kata dia.
Kenapa sebelum ini KPK tidak menghadirkan sadapannya ke persidangan sebagai alat bukti, dan baru menghadirkannya dalam kasus suap jaksa kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Artalita Suryani? Menurut Roy, memang tidak harus sadapan itu dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan, namun bisa saja hanya difungsikan sebagai petunjuk.
Ada banyak faktor, kata dia, antara lain bisa jadi memang kebetulan alat bukti yang dapat dimunculkan KPK adalah rekaman hasil sadapan. Tergantung teknologi yang tersedia, bisa berupa rekaman telepon atau handphone, video, short message service (SMS), dan lain-lain. ”Pengingkaran terhadap pemutaran hasil sadapan itu sangat mungkin terjadi dan itu sering terjadi. Ya itu nanti tergantung jaksanya dalam membuktikan tuduhannya.”
Urusan Pribadi
Mengenai teknologi alat sadap, Roy memaparkan, secara ilmiah, alat itu
disebut celluler digital interseptor (CDI). ATIS itu sendiri, kata dia,
merupakan produsen yang membuat alat penyadap. Ada lima negara produsen
yakni Jerman, Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Israel.
”Negara-negara yang saya sebut itu memang dipandang maju dalam dunia
intelijen.”
Negara produsen tersebut, beber dia, cuma mau menjual untuk penggunaan resmi. Artinya, pembelinya adalah negara. Kalau di Indonesia, bisa itu KPK, TNI, atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri. ”Kejagung setahu saya belum memiliki penyadap. Ini mungkin karena faktor harganya yang memang mahal. Kenapa bisa mahal? Karena negara-negara tersebut memang tertutup.”
Menurut dia, harganya bervariasi antara Rp 4 miliar hingga Rp 30 miliar, tergantung fasilitas dan penggunaannya. Ada yang kecil sehingga bisa dibawa ke mana-mana. Ada juga model base unit, bentuknya besar, tidak perlu dibawa pergi-pergi, bisa menyadap ratusan nomor, dan dapat memasukkan identitas handphone (imei, nomor mesin hp).
”Orang bisa ganti-ganti nomor, tapi kalau dia masih pakai hp yang sama, tetap saja bisa tersadap, karena imei-nya sudah kena. Alat ini memang canggih. Begitu nomor disadap, dia langsung merekam mesin hp-nya, termasuk posisi geografisnya di mana, itu pun bisa diketahui. Kalau posisi sudah diketahui, petugas lain mendatangi dengan bawa unit yang portabel,” jelasnya.
Penyadapan tentu tidak bisa berlaku surut. Pembicaraan-pembicaraan sebelum ia disadap tidak bisa dideteksi. Begitu orang disadap, tentu pembicaraan-pembicaraan urusan pribadi di telepon akan tersadap pula.
”Itu sudah pasti. Namun KPK tentu cuma akan membawa sadapan yang berhubungan dengan kepentingan penegakan hukum. Dan kita percaya dengan integritas KPK dalam menjaga rahasia sadapannya. Tidak boleh itu urusan-urusan pribadi diputar ke persidangan,” lanjut Roy.
Kecuali, sambung dia, dalam sadapan pembicaraan yang sifatnya pribadi itu di tengah-tengah muncul perbincangan yang berhubungan dengan kasusnya. ”Ini risiko bagi orang tersebut. Contohnya, dalam kasus (anggota DPR) Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan Azirwan. Saat disadap, muncul tawaran untuk menghadirkan wanita. Ya itu risiko dia.”
”Kalau sadapan terhadap Al Amin itu mau diputar di pengadilan sebagai alat bukti, justru yang begitu itu tidak boleh dipotong. Kalau dipotong pada bagian yang itu malah aneh jadinya. Kecuali kalau Al Amin telepon istrinya, sopirnya, lha itu tidak bolehlah diputar, wong nggak ada hubugan dengan kasusnya,” tambah Roy. (Yunantyo Adi-62)
Negara produsen tersebut, beber dia, cuma mau menjual untuk penggunaan resmi. Artinya, pembelinya adalah negara. Kalau di Indonesia, bisa itu KPK, TNI, atau Densus 88 Antiteror Mabes Polri. ”Kejagung setahu saya belum memiliki penyadap. Ini mungkin karena faktor harganya yang memang mahal. Kenapa bisa mahal? Karena negara-negara tersebut memang tertutup.”
Menurut dia, harganya bervariasi antara Rp 4 miliar hingga Rp 30 miliar, tergantung fasilitas dan penggunaannya. Ada yang kecil sehingga bisa dibawa ke mana-mana. Ada juga model base unit, bentuknya besar, tidak perlu dibawa pergi-pergi, bisa menyadap ratusan nomor, dan dapat memasukkan identitas handphone (imei, nomor mesin hp).
”Orang bisa ganti-ganti nomor, tapi kalau dia masih pakai hp yang sama, tetap saja bisa tersadap, karena imei-nya sudah kena. Alat ini memang canggih. Begitu nomor disadap, dia langsung merekam mesin hp-nya, termasuk posisi geografisnya di mana, itu pun bisa diketahui. Kalau posisi sudah diketahui, petugas lain mendatangi dengan bawa unit yang portabel,” jelasnya.
Penyadapan tentu tidak bisa berlaku surut. Pembicaraan-pembicaraan sebelum ia disadap tidak bisa dideteksi. Begitu orang disadap, tentu pembicaraan-pembicaraan urusan pribadi di telepon akan tersadap pula.
”Itu sudah pasti. Namun KPK tentu cuma akan membawa sadapan yang berhubungan dengan kepentingan penegakan hukum. Dan kita percaya dengan integritas KPK dalam menjaga rahasia sadapannya. Tidak boleh itu urusan-urusan pribadi diputar ke persidangan,” lanjut Roy.
Kecuali, sambung dia, dalam sadapan pembicaraan yang sifatnya pribadi itu di tengah-tengah muncul perbincangan yang berhubungan dengan kasusnya. ”Ini risiko bagi orang tersebut. Contohnya, dalam kasus (anggota DPR) Al Amin Nur Nasution dengan Sekda Bintan Azirwan. Saat disadap, muncul tawaran untuk menghadirkan wanita. Ya itu risiko dia.”
”Kalau sadapan terhadap Al Amin itu mau diputar di pengadilan sebagai alat bukti, justru yang begitu itu tidak boleh dipotong. Kalau dipotong pada bagian yang itu malah aneh jadinya. Kecuali kalau Al Amin telepon istrinya, sopirnya, lha itu tidak bolehlah diputar, wong nggak ada hubugan dengan kasusnya,” tambah Roy. (Yunantyo Adi-62)
0 Komentar:
Post a Comment